Minggu, 30 Oktober 2011

Sejarah dan Perkembangan Salai Jin

Ternate merupakan salah satu daerah historis di kawasan timur Nusantara yang sejak dahulu telah banyak didatangi berbagai suku bangsa di dunia untuk berdagang rempah-rempah. Komunikasi yang dilakukan penduduk Ternate dalam interaksi kontak dagang dengan suku/bangsa lain di tempat ini menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar (Lingua Franca). Bahasa Melayu adalah satu-satunya bahasa pergaulan antara berbagai daerah di kepulauan Nusantara pada waktu itu. (C. Apituley Cs, Departemen Pendidikan & Kebudayaan, 1983)

Akibat adanya interaksi dengan bahasa-bahasa lain dari luar Maluku Utara, maka dengan sendirinya bahasa-bahasa tersebut mempengaruhi perkembangan bahasa Ternate, terutama dari bahasa Melayu. Banyak sekali kata-kata dari bahasa Melayu yang masuk dalam perbendaharaan bahasa Ternate, kemudian dianggap sebagai bahasa Ternate. Di daerah ini bahasa Melayu pada masa lampau hanya digunakan oleh kaum urban dan kalangan tertentu selain bahasa asli.

Pada masa pra–Islam, bahasa Ternate masih merupakan bahasa lisan, karena bahasa Ternate itu sendiri tidak mempunyai aksara (huruf). Seiring dengan perkembangan agama Islam di wilayah ini, maka istilah-istilah Bahasa Arab mulai masuk dalam perbendaharaan bahasa Ternate. Aksara Arab–Melayulah mulai dipakai untuk menuliskan bahasa Ternate (Arab Gundul). Bahkan sampai sekarang masih ada sejumlah kecil masyarakat Ternate (orang tua-tua) masih menggunakannya.

[align=center][img]https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiz-afuYyQ7ZwHqw2lruqOzXQN1Y6kZi15XUIYF6E82VPnz9GQ6bPoCnGuDiXnz8nnaWfokZrzsm-isfGnZR9xSWmX3uFg2AippB1EkvfGwWa82acMmhWrtB005jweUgwwiIyF6mZ6B81ph/s400/Or2240Ia_27.jpg[/img]
Contoh manuskrip kuno (Dokumen kesultanan)[/align]

Dahulu setiap penulisan dokumen kerajaan selalu menggunakan tulisan Arab berbahasa Ternate (Semua dokumen kesultanan dalam sejarah Ternate yang ditemukan menggunakan aksara Arab). Saat ini aksara Arab sudah jarang digunakan dalam tiap penulisan dokumen. Aksara Latin kemudian dipakai, bahkan lebih dominan penggunaannya seperti sekarang ini.

[align=center][img]https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxwqnrQjnGqRe5hThqELurWVEQSAoUWGFcno5TFjXVYtWuFOVJ98w1aZRYBiEpOMHfx9UZsKxHwzSEhhie1Si9ZaTCGGjeDhtnAhPzL8BfN-FYywebzhab3Mcd8NNU-Q2ruwhZXxDVl1MX/s400/Or2240Ia_3.jpg[/img]
Contoh manuskrip kuno (Dokumen kesultanan)
[/align]
Demikian pula adanya pengaruh beberapa bahasa lokal, seperti Bahasa Jawa juga terlihat dalam perbendaharaan bahasa Ternate, hal ini sebagai akibat dari adanya hubungan persahabatan dan perdagangan yang selama berabad-abad terjalin.

Salah satu contoh pengaruh bahasa Jawa, misalnya kata “Jara” (kuda), dahulu hewan jenis ini tidak ditemukan di Ternate, kuda waktu itu didatangkan oleh pemerintah VOC/Hindia Belanda dari pulau Jawa, sehingga penamaannya mengikuti asal-usul hewan ini didatangkan.

Pengaruh dari Bahasa Bugis (Sulawesi selatan) dan Bahasa Bare’e (Sulawesi tengah) juga terlihat dalam bahasa Ternate. Hal itu erat hubungannya dengan persahabatan yang dijalin antar Ternate dengan wilayah Sulawesi yang dahulu pernah menjadi bagian dari wilayah kesultanan Ternate.

Kehadiran Bahasa Portugis dan Bahasa Spanyol di Ternate bersamaan dengan kedatangan kedua bangsa Eropa ini di Ternate sejak awal abad ke-16 yang rupanya turut memperkaya khasanah perbendaharaan bahasa Ternate. Kata-kata dari bahasa Portugis yang masih dipakai hingga saat ini, misalnya; kadera (kursi), bandera (bendera), leper (sendok), alfiris (pembawa panji), stampa (mahkota), nama desa Kastela dll.

Bahasa Belanda merupakan bahasa asing yang paling lama dikenal di Ternate, namun hanya kata atau istilah yang bersangkut paut dengan urusan pemerintahan saja yang masuk dalam perbendaharaan bahasa Ternate, hal ini disebabkan karena sikap politik VOC/Hindia-Belanda yang dalam pergaulannya hanya membatasi diri pada kalangan tertentu. Sikap ini menyebabkan bahasa Belanda hanya dipakai dalam lingkungan yang sangat terbatas, yaitu lingkungan para pegawai VOC/Hindia Belanda baik orang belanda asli maupun pegawai dari pribumi (Walanda kotu).

Di Ternate, bahasa Belanda tidak dijadikan sebagai bahasa pergaulan dalam masyarakat sehari-hari pada saat itu. Bahasa Belanda juga digunakan di lingkungan kalangan elite dan bangsawan serta sering dipakai juga di lingkungan istana.

Demikian pula dengan kehadiran bangsa Inggris di Ternate. Meskipun kekuasaannya hanya singkat, namun Bahasa Inggris juga ikut memberi sumbangan kata-katanya ke dalam bahasa Ternate.

Bahasa Cina yang selama berabad-abad menjadi bahasa ekslusif di kalangan masyarakat pedagang Cina di Ternate tidak berpengaruh langsung dalam bahasa sehari-hari karena hanya dipakai di kalangan sendiri. Namun masih ada kata-kata dan beberapa istilah dari bahasa Cina yang masih dipakai oleh orang Ternate hingga saat ini adalah; sebutan “Ko” (Om), “Ci” (Tante), “sentiong” untuk lokasi pekuburan serta bebera istilah lainnya.

Pada masa pedudukan Jepang (Dai Nippon) selama tiga setengah tahun berkuasa, Bahasa Jepang secara insentif disebarluaskan ke seluruh lapisan masyarakat oleh tentara Jepang, namun bahasa ini di kalangan masyarakat Ternate tidak populer dan akhirnya lenyap bersamaan dengan berakhirnya masa pendudukan Jepang di tanah air.

Walaupun bahasa Ternate banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab, Jawa, Bugis, Bare’e dan bahasa-bahasa Eropa selama masa pendudukan mereka di Ternate, baik itu Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris serta bahasa Asia lainnya, seperti bahasa Cina dan Jepang, namun sebagai suatu bahasa tutur yang independen, bahasa Ternate masih tetap memiliki aspek-aspek ke-bahasa-annya tersendiri.
Sumber : http://mforum.cari.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar